PERSEMBAHAN RINDU UNTUK TIGA PEREMPUAN
-Anisa, Rafni, Raihana- Ingatkah, kenangan indah yang kita gubah berupa sampiran puisi saat kita menjelajahi kota ini tanpa alas kaki sambil berlari, peluhku kau seka dengan ujung jemari mencumbu gerah, tengah hari wajahmu memerah sepanjang jalan, kota ini dipenuhi senyuman perempuan Percuma kuhasut burung-burung untuk ikut murung mungkin, aku juga tak bisa meminta angin mengabulkan ingin seperti rembulan yang disisihkan bintang aku juga sendirian, dan berbilang: “perempuan berkerudung, bayang-bayangmu terpasung, rinduku mengapung” 1. Merengkuh mendung, di gerbang stasiun aku belajar berhitung satu-dua-tiga, awal hingga ujung kereta dari Bandung urung menunjukkan hidung 2. Selepas senja, biasanya bersamamu merengkuh gulita kita bersila berdua di kakilima pori-pori kota takkan beranjak, sebelum tercipta sebait sajak sejak aku memetakan jarak, kau malah tak tampak 3. Sepulang kerja aku bercengkrama dengan bocah penjual gula-gula bertanya: “Adik, hari ini berapa bus yang masuk kota?” lorong-lorong terminal fasih kuhapal tapi tak ada wanita yang turun dari kereta Jogya Perempuan, hanya pada engkau aku bisa bergericau tentang Riau yang kian risau engkau tau, Pekanbaru tak seperti dulu sejauh mata memandang gedung-gedung tinggi menjulang pongah menantang siang “ah, apakah derai tawa kita sirna dengan pesatnya perkembangan kota atau kita harus bersuka?” Pada akhirnya aku merasa asing dengan bising metropolis yang selalu basah dengan gerimis Mengulang senandung yang kubingkai di senja yang murung: “perempuan berkerudung, bayang-bayangmu terpasung, rinduku mengapung” Pekanbaru, ruang waktu ‘07 |